[P] Afterclass

Tidak biasanya sosok dengan rambut coklat sedikit bergelombang ini melupakan peralatan sekolahnya di kelas. Makanya dia dengan santai berjalan menuju ke kelasnya, berharap kelasnya belum dikunci--hanya itu kekhawatirannya. Setidaknya ini tiga jam setelah kelas selesai sehingga kecil kemungkinan ada seorangpun di dalam kelas, kejadian beberapa hari sebelumnya membuat Tecchan merasa tidak nyaman.

Membuka pintu geser kelas, Tecchan agak terpaku sesaat ketika melihat sosok yang familiar untuknya, tidak hanya di keals saja ditemuinya, rasanya dia sudah melihatnya beberapa kali. Maka dari itu dia hanya memalingkan pandangan manik amethystnya, lalu mencari mejanya guna mengambil seperangkat alat tulisnya yang dia tinggalkan.

Anggap saja tidak melihatnya, Tecchan merasa tidak nyaman dengan sosok tersebut. Padahal saat dia lihat di stasiun nampak lemah sekali, tapi begitu melihatnya dalam keadaan sadar...bukan sesuatu yang baik.

Sepasang mata hijau yang menerawang jauh tengah mengamati cahaya keemasan dari matahari yang mulai turun menyelimuti pekarangan sekolah dari balik jendela kelas. Sesosok pemuda berkulit pucat duduk diatas meja dengan sebelah kaki terangkat sambil menatap jendela. Pinggir matanya sedikit merah. Entah sudah berapa lama dia didalam. Menit-menit sebelumnya ia tidak ingin terlihat oleh siapapun. Hal ini tidak jarang, malah sudah biasa. Berenang dalam pikiran dengan fokus mata menjauh. Kadang-kadang pundaknya berat tanpa alasan dan disaat seperti ini dia tidak butuh kehadiran siapapun.

Namun sosok yang baru datang membuatnya menoleh. Orang itu lagi, orang yang entah kenapa membuatnya kesal belakangan ini. Mungkin karena nyalinya yang tidak takut untuk menjadi "berbeda" sampai-sampai membuat dirinya sendiri seperti alien di matanya, atau karena Ia melihat sedikit retakan dari sosok itu yang terbaca dari polesan makeup diwajahnya. Mau seperti apapun, Ko suka tertarik dengan orang yang memiliki celah di cangkangnya, membuatnya ingin menyusup lalu menghancurkannnya dari dalam, karena celah itu menarik perhatian. Hampir sama seperti hewan, lengah sedikit itu sama saja seperti menenteng papan "aku makanan yang siap ditelan orang-orang".

Gelagat si rambut hitam yang pura-pura tidak melihatnya membuat ujung bibirnya merekah ke samping. Itu adalah bahasa tubuh yang sering ditunjukkan beberapa target lain yang ada di sekolahnya dulu. Ko turun dari meja, lalu berjalan mendekati sosok itu pelan-pelan. Dia berdiri disampingnya dengan bola mata menindik padanya, memastikan dia untuk menyadarinya.

"Oi...," panggilnya. "Masih berani juga kau ya? Memasang kotoran diwajahmu."

"Mereka tidak akan paham, Ironfist. Tapi tenang saja, kami akan menolongmu." Itu kata-kata seorang drag queen yang melihatnya dikeroyok oleh laki-laki seumurannya di tengah jalan saat dia kelas delapan, makanya sejak saat itu dia lebih berani. Walaupun terpaksa harus belajar sedikit main fisik untuk mempertahankan diri, sih.

Makanya, akhirnya pertengkaran di keals itu dia bisa selamat tanpa luka fisik. Kalau luka batin sih sudah biasa, sangking biasanya Tecchan mulai tidak peduli lagi dan menutup telinga terhadap orang-orang itu. Hanya saja dia tidak bisa mengabaikannya terus, bagaimanapun juga dia sosok yang perhatian, kan?

Makanya, begitu ada suara yang ditujukan padanya, Tecchan agar terkejut walaupun berusaha tidak menoleh kepadanya. Rasanya terlalu takut untuk melawan, tapi kalau dia terus-terusan mundur dan tidak melawan kapan akan menangnya?

"Wee."

Menjulurkan lidah mengejek padanya, biar saja dia tahu kalau Tecchan tidak peduli dengan ucapannya lagi. Ini dia lakukan setelah mengumpulkan keberanian, semoga saja orang itu kesal dan pergi dan bukan malah datang ke arahnya. "Bukan urusanmu. Mungkin kau harus pakai make up supaya wajah jelekmu ketutupan."

Tecchan menggali lubang kuburannya sendiri, mungkin.

Ko terdiam beberapa saat sambil melototinya. Cukup takjub dengan respon korban satu ini yang ternyata berani membalas balik. Jengkel, sudah pasti. Jera? tentu tidak. Malah semakin tertarik. Tentu tidak seru kalau pertahanannya runtuh hanya dalam satu serangan kan? Dia mengerti kok kalau setiap orang punya tebal dinding berbeda-beda. Yang perlu dia lakukan hanyalah menyerangnya berkali-kali, lalu lihat sampai mana mereka bisa bertahan.

Mau berlagak tegar ya? Percuma tahu.

Ko mengusap wajahnya, lalu ia terkekeh-kekeh heboh dengan kepala menunduk dan tangan menutupi bibirnya.

"Ooooh, begitu? kalau muka jelek harus pakai make up ya? Pantas saja kamu pakai make up." Ko menarik bagian belakang rambut orang itu agar wajahnya mendongak kearahnya. Lelaki memasang make up, sungguh lelucon. Apa yang dipikirkan orang ini sehingga dia begitu berani melakukannya? Orang bilang untuk mengekspresikan diri. Tapi tetap saja tidak masuk akal baginya, sebab apa gunanya kalau pada akhirnya hanya akan dicaci maki? Itu namanya bodoh. Darahnya mendadak mengalir deras karena rasa iritasi yang entah darimana merayapi tubuhnya. Genggaman tangan dirambutnya mengencang, menarik kepalanya hingga telinganya mendekat ke bibirnya.

"Di dunia ini, tidak ada orang-orang yang lebih menjijikkan selain orang-orang abnormal, banci sepertimu. Liat wajahmu bikin aku muntah. Besok aku tidak mau lihat segorespun make-up diwajahmu. Kalau kau lakukan itu, maka kau dan aku akan "bermain-main" selama tiga tahun penuh. Yang bagiku bukan masalah karena aku suka "bermain-main". Bagaimana? Kau pikir sendiri." Lirihnya mengancam.

Kenapa malah tertawa? Jelas Tecchan kaget dan hendak mundur. Lebih baik biarkan saja, mungkin orangnya agak tidak waras atau bagaimana. Tapi Tecchan kurang cepat kaburnya, belum sempat melangkah saja rambutnya yang panjang itu ditarik, membuatnya kesakitan. Manik amethystnya terpaksa melihat sosok dengan nuansa pucat, tapi yang jadi fokusnya adalah rambutnya yang hari ini dia luruskan pasti berantakan karena ditarik.

"Lepaskan tanganmu--" Tecchan memegangi lengan pemuda itu--yang tidak perlu disangkal lebih besar darinya, mengingat Tecchan tergolong kurus, jadi secara tenaga jelas dia tidak bisa melawan. Tapi Tecchan tidak selemah itu, dia masih bisa menghindar kalau ada yang main fisik.

Yang jelas Tecchan tidak suka dibilang jelek, dia tahu dirinya tidak cantik--tidak punya wajah kecil dengan mata yang besar. Bulu matanya memang agak panjang dan lentik, tapi itu hanya bisa membuatnya terlihat menarik, bukan cantik. Dia tidak punya bentuk tubuh yang berlekuk seksi, hanya sebagaimana laki-laki kurus lainnya.

Makanya dia kesal, tapi tidak bisa melawan. "Kukatakan, lepaskan tanganmu, jelek." Makinya lagi, tidak bisa menghindar. Tidak bisa menutup telinga dari perkataannya.

"Kalau begitu tidak perlu lihat. Aku hidup bukan untukmu, kenapa aku harus menurutimu?" Balasnya, orang ini harus disadarkan untuk tidak terlalu self-centered, ya? "Dasar egois. Aku tidak takut denganmu." Bohong sih, Tecchan sangat takut, tapi dia harus coba melawan.

"Egois? egois katamu?"-Ko mendengus-"jangan bikin aku tertawa"

Dalam jeda sepersekian detik, Ko melibas kepala si rambut hitam itu ke meja di sebelah mereka. Ia menekan wajahnya kuat-kuat hingga tangannya bergetar.

"Bukankah riasan badut ini adalah bentuk ke-egoisanmu sendiri, hah? Karena egomu kau membenarkan perilaku abnormal macam ini kan? Coba, Bagaimana dengan orang tuamu, temanmu, hah? apa mereka terima-terima saja? Apa hidupmu tenang-tenang saja dengan semua ini? Bicara soal hipokrit, baru kali ini aku bertemu yang separah kau. Mungkin di rumahmu tidak ada kaca? Makanya kau tidak bisa lihat betapa tololnya penampilanmu sekarang."

pm note: