Apa bagusnya 'perempuan' itu?

Hotaru menarik lengan kanan blazernya. Jam tangan digital hitam yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan hampir pukul 10 pagi. Sial. Hotaru memutar bola matanya dan mendecak pelan. Pelajaran olah raga masih akan terus berlanjut.

Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana olah raga dan melangkah malas. Kemana saja asal menjauh dari lapangan sepak bola. Cuaca berawan mulai membentuk gumpalan kelabu di atas langit. Kegelapan samar ini merusak moodnya. Hujan kah? Atau salju? Hotaru menerka-nerka apa lagi yang akan dihasilkan cuaca sedingin ini untuk membuatnya kesal. Musim dingin tidak pernah bersahabat dengannya.

Baru saja ia pindah beberapa waktu lalu ke Shiroi Gakuin. Tentu saja masih belum terlalu hapal seluk beluk sekolah luas ini. Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu. Ia mendongak dan membaca nama ruangan ini.

Oh. Jadi disini perpustakaannya.

Tanpa harus berpikir apa resiko meninggalkan pelajarannya, Hotaru masuk ke perpustakaan. Tempat pelarian yang paling aman. Letak sanctuary ini ia petakan dengan teliti di ingatannya. Agar guru tidak memergokinya, Hotaru melangkah ke bagian terdalam di ruangan ini. Tidak semalas langkahnya yang tadi, ia melewati belasan rak besar yang tampak kokoh berisikan banyak buku yang kebanyakan tidak dipahaminya dengan langkah yang lebih cepat.

Surat untuk Tuhan? Apa-apaan buku ini?

Hotaru sampai melebarkan matanya saat berjalan melewati rak buku tersebut. Ah. Surat. Hotaru merogoh kantong saku celana kirinya. Sebuah surat pink dilipat dua dibawa ke depan dadanya. Dipandangnya surat itu dengan tatapan kosong. Tadi pagi, murid Lily Academy mencegatnya di depan gerbang Shiroi Gakuin dan memberikannya dengan wajah memerah dan ucapan terbata-bata lalu pergi begitu saja.

"Mereka pikir mereka menarik?" Hotaru mendengus geli.

Ia mengeluarkan isi suratnya dan mulai melipatnya. Tidak perlu repot-repot membaca isinya ia sudah tahu apa yang tertulis di dalamnya. Surat yang sama dengan puluhan surat yang diterimanya saat masih ada di sekolahnya yang lama. Mengajak pacaran, kenalan atau hal bodoh lainnya yang serupa. Sekarang, surat itu sudah berubah menjadi sebuah pesawat kertas.

"Bodoh. Apa bagusnya 'perempuan' itu?"

Hotaru mengayunkan tangannya. Seketika pesawat kertas melayang dari tangan kirinya.

Sumpah, Taiga tidak membolos. Dia hanya mau mengambil referensi seperti yang diamanatkan wali kelasnya saja kok, setelah ini pasti langsung kembali ke kelas I - 3. Coba lihat kedua tangannya, penuh tumpukan buku dengan judul yang sama, bukan.

Oke, dia memang sedikit mangkir dari kewajibannya. Perpustakaan bukan tempat favoritnya, sejak masuk ke Shiroi Gakuin, ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki ke gudang buku macam ini. Tempat penuh buku begini suka atau tidak suka pasti mendatangkan perasaan cengeng ke dalam dirinya, karena mengingatkannya dengan ruang kerja Haha dan Chichi.

Tapi buku cerita anak dengan tulisan latin "Hansel and Gretel" itu seakan memanggil-manggilnya. Wah, sudah lama juga dia tidak melihat huruf romaji. Mendadak rindu juga karena sehari-hari yang dibacanya huruf kana dan kanji saja.

Seruan "Mereka pikir mereka menarik?" dan "Bodoh. Apa bagusnya 'perempuan' itu?" membuat Taiga tertarik menjelajah lebih jauh. Anak lelaki itu mengira cuma dirinya saja yang berkeliaran di perpustakaan yang senyap begini, ternyata masih ada orang lain?

Taiga meletakkan buku-buku referensi di meja petugas perpus. Mengecek jam dinding--ah, masih ada waktu untuk sedikit petualangan. Taiga melangkah melewati labirin rak-rak buku yang menjulang sepanjang ruangan.

Pesawat kertas warna merah muda melayang dan mendarat tidak jauh dari kakinya. Taiga memungutnya. Apakah pemilik suara barusan ada hubungannya dengan pesawat kertas merah muda ini? Dan Taiga menemukan siswa sesama Yume dengan rambut pirang di sudut dalam ruangan tersebut. Tidak bisa menahan penasarannya, Taiga bertanya, "Ini punyamu?" sambil memperlihatkan pesawat kertas merah muda di tangan kanannya.

"Ini punyamu?"

Hotaru mengedip beberapa kali. Dirinya yakin rak tempatnya sekarang adalah rak paling berdebu yang tidak akan pernah disentuh siapapun kecuali petugas saat pembersihan rutin. Lagipula sedang apa dia di tempat seperti ini dan di jam segini pula?

Detik berikutnya ia terkekeh geli. Sepertinya menghabiskan waktu dengannya boleh juga.

"Iya, itu milikku" Hotaru mendekatinya dengan senyum kasual formalitas. Pertahanan diri favoritnya. Hampir saja ia mengambil pesawat kertas itu dengan tangan kirinya kalau saja ia tidak segera menyadarkan dirinya.

"Maaf kebiasaan" lagi, ia tersenyum dan mengambil pesawat itu dengan tangan kanannya. Ah, anak ini lebih tinggi dariku. "Kelas tiga ya? Kenapa membolos?" tebaknya random setelah melihat perbedaan tinggi badan dengan dirinya.

Pesawat kertas berpindah tangan, diikuti tuduhan sepihak bahwa Taiga membolos. Mendadak dituduh begitu, mau tidak mau Taiga jadi bersikap defensif, "Kamu sendiri kenapa ada di perpustakaan jam segini? Aku... cuma ngambil materi yang disuruh guru, kok, sebentar lagi pergi."

Kenapa Taiga dikira anak kelas tiga? Apa mukanya tampak tua?

"Kebetulan saja kita ketemu di ruangan ini. Kalau kamu keberatan dengan keberadaanku, aku ngalah deh." Taiga tidak bisa menahan mulutnya untuk tidak melancarkan serangan terakhir sebelum beranjak keluar dari kluster rak buku penuh debu tersebut, "Lagian, mendadak ngomong sendirian 'apa bagusnya perampuan itu,' memangnya kamu tidak suka perempuan ya? Kamu homo?"