[I - 3] Soal Cerita

Setidaknya sekarang dia sudah punya pengalaman mengajar matematika selama satu tahun, jadi tidak setegang tahun lalu ketika Takumi pertama mengajar. Pria muda itu menatap papan tulis yang sudah mulai penuh dengan coretannya sendiri. Cukup untuk membuat para siswa sibuk selama sekitar 20 menit. "Oke sementara kalian mencatat formulasi di depan kalian, saya akan memberi kuis."

Takumi berdeham, "Ada soal cerita. Tarou dan Bapaknya sedang naik Motor. Di Tengah jalan mereka mengalami kecelakaan fatal. Sang Bapak meninggal dunia di tempat sedangkan Tarou mengalami luka parah. Tarou dibawa ke RS untuk mendapatkan pertolongan. Dokter yang memeriksanya terkejut melihat kondisi Tarou lalu berkata ” Lha, Ini kan anak saya”

Dengan wajah serius, Takumi melanjutkan, "Pertanyaan: Siapa dokter tersebut?"

---

<sub>Setiap yang membalas topik/menjawab pertanyaan akan diberi 1 chip per balasan.
Setiap yang menjawab pertanyaan pelajaran dengan benar akan diberi 3 chips per pertanyaan.

Tidak perlu menunggu saya atau terpaku pada urutan.</sub>

Lihatlah betapa birunya langit di luar sana.

Dengan awan putih yang berarak, seolah mengajak orang-orang yang melihatnya untuk bermain keluar. Udara memang pasti masih agak dingin, tapi dengan pakaian yang tepat, tak akan terasa terlalu begitu. Udara yang cerah, haah...,

Kenapa juga dia harus terpaku di dalam kelas begini. Hih, males banget.

Bisa hidup nyaman tanpa belajar dan bekerja keras, tapi tetap berduit banyak adalah impian tertinggi seorang Hare Maruko (yang mungkin bisa tercapai kalau dia gantengan dikit, lalu nongkrong di daerah Kabuki-cho sambil godain tante-tante kaya), intinya bebas dari kehidupan sekolah. Jauh-jauh dari sarang penyamun tanpa perawan begini. Haah.

Walau sambil menggerutu terus dalam hati begitu, dia tetap mencatat kok. Dengan tulisan cakar ayam yang jelas-jelas memperlihatkan kalau dia memang sedang malas luar biasa. Lalu Ito-sensei memberi soal tambahan. Soal cerita, katanya. Marco bertopang dagu, dan mendengarkan, dan....,

Mengangkat tangannya.

"Ayah kandung Tarou dari selingkuhan ibunya, sensei."

Matematika adalah pelajaran yang cukup dia benci.
Kenapa?
Karena jawabannya sudah pasti. Itu seperti sebuah ruang kaca tak terlihat yang membatasi sel kreatifitas dalam otaknya.

Pasti mikirnya karena matematika itu susah, ribet dan jlimet, ya? Sayang sekali, itu juga termasuk alasan kenapa Zashiki tidak suka matematika. Ya, satu dari sekian masalah paling tidak penting di dunia yang perlu dipikirkan hanya demi tujuan supaya lulus dari sekolah. Padahal Zashiki tidak ingin lulus cepat-cepat sebelum bisa menjelajahi sekolah ini hingga ke lubang-lubang angin dan bolongan di atap. Kalau begitu, gagalkan saja kelas matematikanya, betul kan?

Andai bisa semudah itu, ya? Akta kelahirannya bisa-bisa disobek dan namanya ditip-ex dari daftar keluarga kalau dia melakukan hal itu dengan sengaja. Selama ini dia sudah bermain sebagai anak-baik di rumah, hanya demi supaya diberi kemudahan untuk melakukan hal-yang-tidak-baik. Masakan menyerah begitu saja hanya karena kelas matematika? Huh.

Buku catatannya sudah penuh dengan coret-coretan rumus. Pak guru di depan tiba-tiba berbalik dan memberikan soal cerita. Tadinya, Zashiki sudah siap melaju dengan contekan rumus yang ditulisnya di halaman belakang buku, eh ternyata...

...kuis, toh?

Salah seorang temannya sudah mengacungkan tangan dan menjawab. Apa masih ada kesempatan baginya untuk menjawab juga? Tidak sekedar mengacungkan tangan, kali ini Zashiki berdiri--sedikit antusias dengan perubahan atmosphere dari pertanyaan hari ini yang tidak melulu berputar pada angka--bangkunya sampai berderit, mengucap keras tepat ketika kalimat teman sekelasnya yang bermuka datar itu berhenti pada tanda baca titik.

"IBUNYA."

Asamaru bukan anak yang terlalu pintar matematika, jadi dia hanya menjalani jam pelajaran yang satu ini dengan pikiran yang-penting-cepat-lewat. Dia mencatat, tapinya. Dan memperhatikan. Kalau tidak kan mubazir sudah bayar uang sekolah.

Tapi ya, begitulah. Hanya mencatat dan mendengarkan.

Lalu berlanjut dengan soal cerita. Asamaru mendengarkan, walau tidak paham. Paham-tidak-paham, sih, tapi dia sedang berusaha meyakinkan diri kalau barusan itu tidak ada yang terlewat. Ini masih kelas matematika kan ya? Apa dia salah masuk?

Tapi sepertinya tidak salah, karena dua temannya sudah menjawab dengan lantang.

Asamaru juga mau ikut menjawab, tapi dia harus menjawab apa? Masa' sama dengan yang lain. Nanti dikira mencontek, lagi.

"HOMOAN BAPAKNYA YANG BARU MENINGGAL, PAK!"

Oops, dia lupa angkat tangan. Jadi diulangi. Asa berdiri, mengangkat tangan, lalu mengulang. "HOMOAN BAPAKNYA YANG BARU MENINGGAL, PAK."

Lalu kembali duduk. Jawabannya bukannya tidak masuk akal. Apalagi situasi Tarou mirip-mirip dirinya. Ah, jadi sedih membayangkan. Asa tak mau bibi atau Yasuko-san mati.

Saat Taiga sedang konsentrasi penuh mencatat tulisan wali kelasnya di papan tulis, guru matematika itu mendadak melontarkan soal cerita. Alis Taiga berkerut. Tidak salah nih? Kuis di tengah proses penyalinan rumus? Timing-nya betul-betul tidak pas! Taiga panik, terbelah antara ingin konsentrasi menyalin isi papan tulis atau menjawab soal. Tapi ternyata pertanyaan yang di lontarkan agak.... aneh. Taiga lagi-lagi tidak tahu haruskah dia lega atau justru curiga.

"Pertanyaan: Siapa dokter tersebut?" ditanyakan dengan wajah serius, Taiga bertanya-tanya gurunya ini memang serius bertanya atau hanya bercanda? Kalau bercanda, kenapa wajahnya serius begitu?

Teman-teman sekelasnya yang lain satu-satu menjawab, ada yang suaranya kalem, ada yang setengah teriak. Takagi dan Amatsuki misalnya, semangat sekali mereka.

Taiga ikut mengangkat tangan juga meski masih ragu-ragu apa jawabannya betul atau salah, lagipula barusan dia terlalu panik jadi tidak terlalu memperhatikan detail soal cerita... Ah. yang penting dianggap aktif dulu dalam kegiatan ajar-mengajar.

"Ehm.... kakeknya?" kata Taiga.

Takumi mencatat nama-nama siswa yang menjawab soal ceritanya barusan.
1. Hare Maruko
2. Takagi Choukichi
3. Amatsuki Asamaru
4. Watanabe Taiga

Ada satu orang yang menjawab benar. Tentu saja, itu barusan kan contoh soal logika matematika untuk anak kelas 4 SD. "Sekarang soal nomor dua," lanjut Takumi.

"Yamada adalah satpam yang bertugas menjaga rumah Bos besar di Malam hari.
Suatu pagi sang Bos hendak pergi ke bandara karena mau ke luar Negeri. Yamada menghampiri Bosnya kemudian berkata ”Bos, jangan pergi semalam saya mimpi pesawat Bos jatuh.”
”Betul, kamu semalam mimpi itu?” Tanya si Bos.
"Iya bos, malah beberapa kali saya ngimpi yang sama.” Ujar Yamada.
Kemudian Sang Bos mengeluarkan uang dari dompetnya sambil berkata ”Ini pesangonmu, kamu dipecat!!”

Mengapa Yamada dipecat?"

---

<sub>Aturan mainnya masih sama:
Setiap yang membalas topik/menjawab pertanyaan akan diberi 1 chip per balasan.
Setiap yang menjawab pertanyaan pelajaran dengan benar akan diberi 3 chips per pertanyaan.

Tidak perlu menunggu saya atau terpaku pada urutan.</sub>

Hei, sejak kapan kelas matematika berubah jadi kelas kuis? Sejak kapan juga gurunya yang selama ini dia anggap agak kaku ternyata punya sisi humornya sendiri? Ternyata manusia masih menyandang predikat sumber misteri terbesar. Boleh buku matematikanya disimpan sekarang?

Beberapa orang temannya tadi ada yang ikut menjawab, walau kebanyakan yang didengarnya adalah celetukan-celetukan ngawur. Curiga dia, jangan-jangan mereka angkat bicara supaya tidak terlihat mengantuk. Dia juga sih... lebih suka mengerjakan kuis-kuis semacam ini daripada berkutat dengan angka. Ah, angka itu manis kok, tapi tidak semanis kuis.

Sekali lagi dia mengangkat tangan,

"Karena Yamada, yang seharusnya berjaga malam hari, tertidur dan bermimpi, bahkan sampai beberapa kali," kali ini dijawabnya tanpa jeda nafas.

Takumi mengangkat alis. Ah ternyata trik yang sama memang benar tidak bisa dipakai dua kali. Ia kembali mencatat nama-nama siswa yang menjawab dan menutup daftar nilainya.

- Takagi Choukichi

"Baiklah, terimakasih atas kerjasamanya. Kuis hari ini cukup sekian. Silakan tunggu jam pelajaran selanjutnya dan jangan (terlalu) berisik."