Let's Play! [Open for 1-3]

Taiga ingin segera menyelesaikan limabelas nomor soal bahasa inggris ini, supaya bisa cepat-cepat menyelinap ke kantin. Maklum usia pertumbuhan, perutnya lebih gampang lapar dan susah kenyang. Sepertinya keputuan tepat meminta paman dan bibi supaya memasukkannya ke sekolah yang sama dengan kakak sepupunya, SMA Shiroi Gakuin yang sudah sekaligus tempat tinggal (asrama) dan makanan. Karena kalau tidak, bisa-bisa keluarga walinya itu cepat tekor kalau membesarkan dua remaja laki-laki yang umurnya berdekatan sekaligus.

Siapa tahu di kantin bisa papasan dengan Shun-nii.

Mungkin juga tidak papasan sih.

Taiga masih berkutat dengan soal nomor lima ketika mendadak suara buk keras mengganggu konsentrasinya. Diikuti suara seseorang menyapanya. Mengajak main pula. Taiga menoleh, menatap anak laki-laki berambut ungu yang terus-terusan nyengir kuda. "Main yuk. Main apaaaa gitu. Nggak usah kerjain tugasnya, itu nanti nyontek yang lain saja." "Poker, capsa? Aku bawa, loh."

Alis Taiga bertaut. Amatsuki Asamaru-kun; Taiga mengingat namanya dari daftar absen. Sepersekian detik Taiga menimbang-nimbang apa sebaiknya kalau dia laporkan saja murid macam Amatsuki ini kalau guru datang--sampai mendadak ide yang lebih baik melesat di benaknya.

"Aku mau main denganmu asal nanti kita tukaran jawaban tugas." Leher Taiga memanjang, melirik buku tugas teman sekelasnya yang berambut ungu itu, "memangnya kamu sudah mengerjakan berapa soal sih?"

Tiger-kun, Asa tidak tahu keputusannya untuk mengajak temannya yang satu ini main keputusan yang bijak atau bukan. Sebenarnya jelas tidak bijak, sih, tapi kan siapa tahu saja gitu dia mau ikut. Malah nanya, sudah selesain berapa soal. Asamaru maksudnya, tentu saja.

"Sudah kerjakan lima belas!" Makanya dia menjawab lantang. Asamaru menarik kursinya supaya sebelahan dengan Watanabe Tiger-kun, lalu meletakkan kartunya barusan di atas meja. "Minus lima belas."

Cengirannya tidak hilang, sudah pasti.

"Watanabe-kun sudah jawab berapa? Lihat dong."

Ini siapa yang mau lihat jawaban punya siapa...

Matanya memandang keluar jendela, di mana matahari bersinar dengan lembut membakar halaman sekolah. Tidak ada cericit suara burung seperti yang terdengar kalau pagi hari. Mungkin mereka pun berteduh kepanasan. Tangannya menopang dagu, mata memandang kosong, lepas ke arah pemandangan di balik jendela, menatap rindu. Rindu pada semangkok ramen dengan lauk udang yang mengganggu pikirannya sejak pagi. Aah, sudah hampir jam makan siang. Bel belum juga berbunyi, kelas mulai berisik di sana-sini. Bukunya terlipat rapi di depan dada, di baliknya terselip bolpoin yang sudah sejak 10 menit yang lalu menganggur. Kebiasaan surfing di internet membuatnya lebih cepat mengerjakan tugas hari itu.

Quote :

"Main yuk. Main apaaaa gitu. Nggak usah kerjain tugasnya, itu nanti nyontek yang lain saja."

Sebuah suara riang, seakan tanpa beban membuat kepalanya menoleh. Amatsuki, kawan sekelasnya yang (kelihatannya) punya hobi cengar-cengir setiap saat kali ini tampaknya punya ide baru untuk mendobrak kebosanan. Sasarannya si Watanabe, cowok hangus yang dengar-dengar pernah tinggal di negara tropis, makanya jadi hitam begitu. Mau ngapain mereka?

Quote :

"Aku mau main denganmu asal nanti kita tukaran jawaban tugas."

Yah.

Ujung-ujungnya ke sana juga.

Zashiki bergeser dari duduknya, menyelipkan buku tugasnya ke dalam laci dan berjalan mendekati dua orang itu. Tumben-tumbenan saja kali ini dia yang bergerak duluan, biasanya sih... dia setia nangkring di kursinya menunggu ada yang menyapa.

"Ikut, donk," ujarnya begitu saja, tak peduli pada barter yang hampir berlangsung di antara dua kubu ini. "Pakai taruhan juga boleh," tambahnya, menatapi kedua teman sekelasnya ini satu persatu. Lebih asyik begitu, kan?