[homeroom] Kelas I - 3

Takumi melirik jam tangannya, 8.00 AM; demikian angka yang tertera disana. Takumi menghela nafas, berusaha untuk tidak kelihatan gugup, setidaknya tidak di kali pertama dia membuka kelas homeroom ini. Digesernya pintu kelas I-3, dengan ekor matanya diperhatikannya bocah-bocah lelaki itu, wajah-wajah yang akan dilihatnya terus setiap hari kerja setahun kedepan. Calon siswanya.

Takumi berjalan melintasi papan tulis, berhenti, dan berdiri di belakang meja guru, meraih buku absen yang sudah terlampir rapi di permukaannya. Takumi berdeham, berusaha mengusir perasaan tegang dari kepalanya, sekalian memastikan suaranya tidak terdengar aneh ketika ia bicara setelah ini.

"Selamat pagi, saya Ito. Seperti yang kalian lihat, saya akan jadi wali kelas kalian setahun kedepan. Salam kenal dan mohon kerjasamanya," Takumi berusaha tersenyum, supaya tidak terlihat... kaku. Dalam hati Takumi sibuk mengira-ngira kesan seperti apa yang ingin dia perlihatkan pada pertemuan pertama. Dia tidak ingin kelihatan terlalu seram, toh perawakannya saja sudah mirip atlet gulat. Tapi mengetahui kecenderungan siswa zaman sekarang, kalau tidak sok seram biasanya siswa-siswa ini akan berulah; dan kalau terlalu sok ramah dan sok kakak, memangnya ini film latar sekolahan 20 tahun yang lalu...

"Saya akan mengabsen kalian satu-satu," dan berusaha mengingat wajah kalian, sambung Takumi dalam hati. "Yang namanya disebut harap angkat tangannya."

Takumi mengeja satu demi satu nama di daftar absen, mengangkat wajah, mencari acungan tangan dan berusaha mengenali wajah yang bersangkutan. Lalu memberi tanda V pada buku absennya dan melanjutkan sampai nama terakhir pada daftar absennya.

Spoiler:

Eisen tidak terlalu banyak berinteraksi dengan kawan-kawan di kelasnya. Dia cenderung diam dan memilih untuk menyendiri. Daripada mereka yang sibuk mengobrol sana-sini, Eisen lebih memilih menghabiskan waktunya dengan membaca sebelum guru yang akan diperkenalkan sebagai wali kelasnya masuk dan mulai memperkenalkan dirinya pada murid-murid yang menjadi penanggung jawabnya selama setahun kedepan.

Tidak ada rasa penasaran menghampiri Eisen tentang bagaimana dan siapa yang akan menjadi guru walinya, anggaplah orang tua pengganti di sekolahnya. Dia tidak tertarik untuk tahu. Tidak seperti beberapa orang kawannya di sini. Eisen terlalu larut dengan bacaannya hingga suara pintu tergeser membuatnya menutup buku tersebut dan memasukkannya ke dalam tas, dengan sebelumnya memberikan tanda terakhir dimana ia membaca dengan sebuah pembatas buku.

Eisen diam dan memerhatikan sang guru yang entah mengapa terkesan sangat gugup. Apa dia guru baru di sekolah ini? Entahlah. Eisen sendiri baru masuk di tahun ini. Jadi dia tidak terlalu tahu mana-mana saja guru lama dan mana-mana saja guru yang baru.

Nama Eisen dipanggil. "Hai*)" Jawabnya dan mengacungkan tangan. Setelahnya, kembali diam.

---

*)Pelafalannya Haik.

Hikaru menguap dengan sangat lebarnya pagi ini. Dia kurang tidur semalam karena adiknya di rumah menelfon dan mengadu padanya sepanjang malam. Katanya dia tidak mau berhenti sebelum merasa puas, meninggalkan Hikaru yang antara tidur tidak tidur mendengarkan segala keluhannya. Dari kaos kakinya yang satu hilang, barang-barangnya diletakkan tidak pada tempatnya, kakaknya yang pulang ke rumah karena pertengkaran pertama pada rumah tangganya padahal itu hanyalah masalah yang sepele (menurut Shizuka) hingga sang adik yang mendapatkan teman sebangku yang menyebalkan.

Semuanya dilaporkan dengan sangat lengkap pada Hikaru. Inti dari pembicaraannya sebenarnya adalah bahwa Shizuka menginginkan Hikaru untuk kembali pulang, karena tidak adanya Hikaru memberikan dampak cukup besar pada kehidupan rumah tangga Matsuya. Namun, Hikaru tetap pada pendiriannya untuk terus melanjutkan sekolahnya hingga selesai di sekolah ini. Jadi dia hanya meminta Shizuka untuk bersabar dan juga belajar untuk bisa melakukan segalanya sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

Bagaimana pun sang adik akan menjadi calon istri seseorang bukan? Calon istri yang tidak bisa apa-apa? Mana ada yang mau mengangkatnya jadi calon istri kelak.

Hikaru nampak tertidur-tidur lelah, namun dia berusaha untuk tetap bangun apapun yang terjadi. Ini hari pertama masuk sekolah, ingat? Dan... apa tadi namanya dipanggil??

"H--hai..." Jawab Hikaru menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menghilangkan rasa kantuk. Dia tidak ketahuan tengah mengantuk kan?

Sinar matahari pagi menjulur masuk ke dalam ruangan kelas melalui jendela-jendela, terpantul menyilaukan oleh meja, manusia dan dinding. Hari pertama masuk sekolah di Shiroi Gakuin, dan langit berwarna biru, hampir cerah, hanya ada sisa-sisa kabut embun pagi. Kelas I-3 tenang mendengarkan perkataan wali kelas yang berdiri di balik meja didepan.

Bunyi halaman buku dibalik, pensil mekanik, uapan, dan bisikan, ketikan telepon genggam dibawah meja bergantian melengkapi bariton datar sang guru.

Diantara murid-murid dalam ruangan itu, duduk di tengah seorang pemuda berambut salmon pucat, pagi itu terlihat lebih pirang karena memantulkan sinar matahari. Warna dasi, juga aksen blazer seragamnya hitam.

Terdengar suara pena jatuh.

Murid itu cukup jangkung, dengan bahu lebar menyender di kursinya, dengan kaki disilang dan jemari tangan terkait. Menatap lurus ke depan, ia tidak tersenyum; air mukanya netral, posturnya tenang tak bergerak. Tanda kehidupannya hanya tarikan nafasnya, naik-turun rendah, beritma, tak terganggu. Ia berkedip.

Tempat duduknya membuatnya dapat terlihat dari segala arah. Warna wajah dan mata birunya tak terbaca. Satu demi satu nama dibacakan oleh guru muda didepan, satu demi satu murid menandakan kehadiran mereka. Pemuda itu tetap diam.

"..Nashigase?"

Ia mengangkat tangannya, "Ya," dan mencair, tersenyum.

Takumi selesai menyebut nama terakhir di daftar absensi, lantas terdiam. Hanya 1/4 penghuni kelas yang serius menyahut saat dipanggil, sisanya entah tuli atau abai. Hanya 25% yang menyahut, sisanya kemana? Apa ini bisa diartikan sebagai tanda-tanda pembangkangan? Beginikah anak SMA masa kini memperlakukan guru mereka di sekolah? Tidak acuh dan tidak peduli? Apa dirinya diremehkan karena penampilan dan usianya tidak terpaut jauh dengan bocah-bocah ini? Apa mereka merasa tidak butuh dibimbing guru? Lantas kenapa repot-repot berangkat sekolah? Kenapa pura-pura tertarik belajar? Anjuran pemerintah? Desakan orang tua? Malu terhadap teman-teman sebaya?

Takumi menyusur kembali nama-nama di daftar hadirnya.

Quote :

-Akatsuki Takaaki
-Amano Eisen
-Hazakura Maruo
-Ichihara Yoru
-Kurogamine Tenshi
-Kyougoku Enishi
-Makoto Amaya
-Matsuya Hikaru
-Minami Hotaru
-Nashigase Karin
-Takagi Hikaru
-Furuya Miro

Takumi berusaha menarik urat-urat bibirnya melengkung ke ujung pipi--berusaha tersenyum. "Kalian bisa menghubungi saya kapanpun, saya tinggal di dorm staff dan alamat e-mail saya tercantum di daftar guru. Kalau kalian ada masalah, saya siap dihubungi kapan saja, jangan sungkan-sungkan."

Hanya tiga orang yang menyahut dari 12 nama di daftar absen tadi. Satu setengah tertidur, satu pemuda mencolok dengan rambut merah jambu, dan seorang yang 'normal', berambut hitam.

"Misalnya kalau ada masalah akademik, atau konflik dengan senior atau teman sebaya. Adalah tugas saya membimbing kalian nyaman mengikuti proses ajar mengajar setahun kedepan." Takumi tersenyum lagi. "Kalau tidak ada pertanyaan lagi, mari kita lanjutkan dengan membentuk pengurus kelas dan petugas piket."

Sisa delapan orang yang tidak dicoret dari daftar hadir. Takumi menggertakkan gigi.

Jangan harap delapan siswa ini bisa tenang setahun kedepan.